Kamis, 16 Agustus 2012

“TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN”


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar belakang masalah
Islam adalah agama yang integral dan Universal. Oleh sebab itu, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan mulai dari hal-hal yang kecil sampai pada hal yang besar.
Kepemimpinan dalam era globalisasi ini sangatlah beragam dan bervariasi, banyak orang beranggapan bahwa kepemimpinan sebagai sebuah jalan untuk mencapai kekayaan di dunia semata, ada juga yang beraggapan kepemimpinan merupakan sarana untuk meniti jalan kebahagian dunia dan akhirat, tak jarang juga muncul anggapan bahwa ketika orang telah memangku jabatan ia bisa mendapatkan apa saja yang ia inginkan.
Dengan adanya pandangan tersebut ambisius seseorang untuk menjadi pemimpin makin memuncak, yang pada akhirnya mereka berlomba-lomba menghalalkan berbagai cara demi tercapainya sebuah tujuan yang ia inginkan yaitu menjadi seorang pejabat, direktur, pimpinan suatu lembaga, dan sebagainya.
Akibatnya, banyak orang menciptakan strategi, taktik, dan siasat yang seseorang kemas dengan dipenuhi kecurangan-kecurangan tanpa menghiraukan nilai kemanuasian dan sportifitas yang salah satunya praktek sogok menyogok.
B.        Rumusan masalah
Perumusan masalah pada pembahasan bab ini meliputi :
1.      Apa konsep kepemimpinan?
2.      Bagaimana menjadi pemimpin yang bertanggung jawab?
3.      Apa tugas dan fungsi pemimpin?
4.      Apa batas-batas ketaatan kepada seorang pemimpin?
5.      Bagaimana faktor seorang pemimpin yang ambisius?
C.       Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini ditujukan untuk :
1.      Mengetahui konsep kepemimpinan
2.      Mengetahui pemimpin yang bertanggung jawab
3.      Mengetahui tugas dan fungsi pemimpin
4.      Mengetahui batas-batas ketaatan kepada seorang pemimpin
5.      Mengetahui faktor seorang pemimpin yang ambisius






BAB II
PEMBAHASAN
A.       Konsep Kepemimpinan
1.      Pengertian kepemimpinan
Banyak definisi dikemukakan oleh para ahli, diantaranya[1]:
            Kepemimpinan merupakan suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang, agar mau bekerja sama menuju kepada suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama (Sondang P. Siagian).
            Kepemimpinan adalah kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain itu bertingkah laku sebagaimana dikehendakinya. (Soejorno Soekarno)
            Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi antar pribadi atau orang dalam situasi tertentu melalui proses komunikasi yang terarah untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Pariata Westra).
2.      Unsur-unsur kepemimpinan
            Berdasarkan Definisi diatas dapat disimpulkan bahwa dalam  kepemimpinan tedapat beberapa unsur yang saling menunjang layaknya sebuah sistem, unsur-unsur tersebut ialah:
  1. Adanya seseorang yang mempengaruhi (pimpinan).
  2. Adanya orang yang dipengaruhi (bawahan)
  3. Pengaruh yang diberikan berupa pengarahan untuk mecapai tujuan tertentu.
  4. Kepemimpinan merupakan merupakan sebuah proses.
  5. Kepemimpinan merupakan suatu kegiatan untuk mengarahkan orang lain.
  6. Kepemimpinan merupakan suatu kegiatan memimpin orang lain.
3.      Model-model kepemimpinan
Dalam ilmu kepemimpinan terdapat beberapa gaya dalam memimpin, seperti banyak dibahas dalam buku-buku yang menjelaskan tentang kepemimpinan, adapun model-model tersebut, diantaranya[2]:
  1. Kepemimpinan otokratis.
  2. Kepemimpinan militeristis.
  3. Kepemimpnan Paternalistis.
  4. Kepemimpinan Kharismatis.
  5. Kepemimpinan Demokratis.
Kepemimpinan otokratis adalah selalu berpendapat bahwa ditangannyalah pusat segala kegiatan. Pemimpin dengan gaya ini, selalu memrintah, mendikte dan bawahan harus mengerjakan tugas sesuai dena kehendak sang pemimpin.
            Kepemimpinan militeristis kepemimpinan yang menggerakan bawahanya dengan sistem komando, terkesan lebih ketat, berdisiplin tinggi, dan sukar menerima kritikan dari bawahan. Kemukedian wewnang dipegang sepenuhnya oleh atasan yang ditentukan berdasarkan pangkat dan jabatan, yang sering dipraktekan oleh TNI, POLRI, dan sebagainya.
            Kepemimpinan paternalistis selalu beranggapan bawahan adalah seorang yang belum dewasa. Jadi pempinan harus selalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk bawahannya.
            Kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan karena sifat-sifat pribadinya yang luar biasa menurut pandangan para pengikut-pengikutnya, maka dia di dudukan menjadi pimpinannya. Kepemimpinan ini lebih cenderung kepada teori naturalisme.
            Kepemimpinan demokratis adalah pemimpin yang bersedia menerima saran-saran dari bawahan dan selalu memberi kesempatan bawahan untuk berkonsultasi.
Teori kepemimpinan
Terdapat tiga teori dalam kepemmpinan yang paling populer yang banyak dikemukakan oleh para ahli diantaranya:
1.      Teori Naturalisme.
Teori ini beranggapan bahwa seorang pemimpin merupakan bawaan gen dari orang tuanya, yang tidak perlu di latih, dengan kata lain kepemimpinan ini sangat bergantung pada bakat bawaan sejak lahir.
2.      Teori Empirisme.
Teori ini merupakan kontradiksi atau kebalikan sekaligus penolakan terhadap teori yang pertama karena merasa tidak puas dengan pendapat yang dikemukakan teori naturalisme, maka teori ini beranggapan bahwa seorang pemimpin dididik bukanlah dilahirkan. Dengan kata lain seorang pemimpin harus melalui peroses pembelajaran, bimbingan, pelatihan dan laian-lain.
3.      Teori Kompegensi.
Teori ini berusaha mensistensiskan (emedukan) antara kedua teori diatas. Teori ini beranggapan bahwa kedua unsyur diatas sangatlah penting untuk menumbuhkan dan mencetak jiwa kepribadian seseorang.
Keith Davis merumuskan empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi.[3] Yaitu:
1.      Kecerdasan
2.      Kedewasaan dan keluasan hubungan social
3.      Motivasi diri dan dorongan berprestasi
4.      Sikap-sikap hubungan kemanusiaan.
Agar supaya dapat berhasil baik dalam memimpin orang/ pegawai, ada modal utama yang harus dimiliki oleh pemimpin. Modal utama itu ialah: KEPRIBADIAN, KEMAMPUAN, dan KESUNGGUHAN. Ketiganya mempunyai bobot yang sama, dengan demikian satu dan lain mendominasi, sehingga daya pengaruhnya sama besar.[4]
Seorang pemimpin yang berhasil (ideal) bisa ditentukan dengan beberapa faktor, diantaranya:[5]
1.      seorang pemimpin harus memperhatikan tanggung jawab seorang pemimpin, yang mencakup berbagai aspek yang menunjang kepemimpinan.
2.      Pemimpin harus berjiwa atau mempunyai sifat mengayomi terhadap yang dipimpinya yang tercermian dalam fungsi pemimpin sebagai pelayan masyarakat.
3.      Seorang pemimpin semestinya tidak terlalu ambisius untuk memperoleh jabatan, karena dikhawatirkan berdampak pada peraktek suap-menyuap. Sehingga peroses kepemimpinan dilakukan dengan baik berdasarkan koridor yang telah ditetapkan Islam, sehingga terciptanya suatu kepemimpinan yang ideal sesuai harapan bawahan, anggota sampai masyarakat bagi para pemangku negara.

B.        Prinsip-prinsip Kepemimpinan
Secara umum, prinsip-prinsip kepemimpinan dapat diuraikan sebagai berikut:
ü  Konstruktif, pemimpin harus mendorong dan membina setiap staf untuk berkembang secara optimal.
ü  Kreatif, pemimpin harus selalu mencari gagasan dan cara baru dalam melaksanakan tugasnya.
ü  Partisipatif, mendorong keterlibatan semua pihak yang terkait dalam setiap kegiatan.
ü  Kooperatif, mementingkan kerjasama dengan bawahan dan pihak lain yang terkait, dalam melaksanakan tugas atau jabatan sesuai bidangnya masing-masing.
ü  Delegatif, berupaya mendelegasikan tugas kepada bawahan, sesuai dengan deskripsi tugas atau jabatan serta kemampuan mereka.
ü  Integratif, selalu mengintegrasikan semua kegiatan, sehingga dapat bersinergi dalam proses upaya pencapaian tujuan organisasi.
ü  Rasional dan obyektif, pertimbangkan aspek obyektivitas dan rasionalitas dalam bertindak maupun bertugas.
ü  Pragmatis, seorang pemimpin harus menyesuaikan kebijakan atau target yang ia tentukan dengan kondisi dan kemampuan nyata yang dimilikinya.
ü  Keteladanan, sebagai figur pemimpin harus mampu menjadi contoh yang baik bagi masyarakat atau orang yang di pimpinnya.
ü  Adaptabel dan fleksibel, pemimpin harus dapat beradaptasi dan fleksibel dalam menghadapi situasi baru juga menciptakan situasi kerja yang memudahkan staf untuk baeradaptasi.
Tolak ukur keberhasilan seorang pemimpin dapat di ukur dari tingkat kepuasan yang dipimpinnya, baik secara internal maupun eksternal. Pemimpin dikatakan berhasil jika ia mampu memberikan layanan yang sesuai atau melebihi harapan masyarakatnya.[6]
C.       Pemimpin dan Tanggung Jawab
Kepemimpinan adalah syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai kemasalahatan, baik di dunia maupuan di akhirat karena kepemimpinan adalah penentu terhadap apa yang di pimpin, semua kepemimpinan itu amanah baik dalam segala aspek, Karena sang pemimpin wajib bertanggung jawab terhadap yang di pimpinnya. Dan bagi masyarakat yang di pimpin wajib mentaati pemimpin.
Sebagai mana diperintahkan Allah untuk taat kepada pemimpin maka di larang untuk menyalahinya.
Karena pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya selama pemimpin masih layak jadi panutan bagi yang dipimpinnya.
Hadits Tentang Tanggung Jawab Pemimpin
1.      Matan Hadits
20 - ( 1829 ) حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا ليث ح وحدثنا محمد بن رمح حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه قال ( ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيته والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم والعبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته )             
2.      Terjemah Hadist:
“telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin s’aid
dari Iibnu Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda, “kalian seamuanya adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.Pemimpin akan ditanya tentang rakyat yang dipimpinnya. Suami pemimpin keluarganya dan akan ditanya tentang keluarga ytang dipimpinnya.Istri memelihara rumah suami dan anak-anaknya dan akan ditanya tentang hal yang dipimpinnya. Seorang hamba(buruh) memelihara harta majikannya dan akan ditanya tentang pemeliharaannya. Camkanlah bahwa kalian semua pemimpin dan akan dituntut (diminta paertanggung jawaban) tentang hal yang dipimpinnya.” (Dikeluarkan oleh imam Bukhori dalam kitab “Budak”,Bab:”Dibencinya memperpanjang perbudakan.”)
3.      Penjelasan Hadits
Hadist diatas sangat jelas menerangkan tentang kepemimpinan setiap orang muslim dalam berbagai posisi dan tingkatannya. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat sampai tingkatan penggembala, bahkan sebenarnya tersirat sampai tingkatan memimpin diri sendiri. Semua orang pasti memiliki tanggung jawab dan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT. atas kepemimpinannya kelak di akhirat.
            Dengan demikian, setiap orang Islam harus berusaha untuk menjadi pemimpin yang paling baik dan segala tindakannya tanpa didasari kepentingan pribadi atau kepentingan golongan tertentu. Akan tetapi, pemimpin yang adil dan betul-betul memperhatikan dan berbuat sesuai dengan aspirasi rakyatnya, sebagaimana  diperintahkanoleh Allah SWT.dalam Al-Quran:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S. An-Nahl:90)
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sù ÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ̍øBr& «!$# 4 bÎ*sù ôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ) ©!$# =Ïtä šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ                                                     
”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil” (Q.S. Al-Hujurat:9)
Ayat di atas jelas sekali memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan di mana saja. Seorang raja misalnya,harus harus berusaha berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah SWT.dalm memimpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera.
            Sebaliknya, apabila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada,rakyat akan sengsara. Dengan kata lain,pemimpin harus menciptakan keharmonisan antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik di antara keduanya. Itulah pemimpin paling baik sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:
”Auf bin Malik r.a., berkata “Saya telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda,: Sebaik-baiknya pemimpinmu ialah yang kamu cintai dan cinta padamu, dan kamu do’akan dan mereka mendoakanmu. Dan sejahat-jahatnya pemimpinmu ialah yang kamu benci dan merekapun membenci kamu, dan kamu kutuk dan mereka mengutuk kamu.” Sahabat bertanya,”Bolehkah kami menentang(melawan mereka)? “Beliau menjawab,”Tidak,selama mereka tetap menegakkan shalat.”[7]
            Dengan demikian, kebahagiaan dan pahala yang besar menunggu para pemimpin yang adil, baik di dunia dan kelak akhirat.Sebaliknya, para pemimpin yang tidak adil akan memperoleh kehancuran dan ketidaktertiban di dunia dan baginya siksa yang berat di akhirat kelak,apabila di dunia,ia luput dari siksaaan-Nya.

D.       Tugas dan Fungsi Pemimpin
Hadits Tentang Pemimpin Pelayan Masyarakat
1.      Matan hadits
حديث معقل بن عن الحسن أنّ عبيدالله بن زيادعادمعقل بن يسارفى مرضه الّذي مات فيه, فقال له معقل: إنىّ محدّ ثك حديثا سمعته من رسول الله صلىّ الله عليه وسلّم سمعت النّبى صلّى الله عليه وسلّم يقول: مامن عبداسترعاه الله رعيّة فلم يحطها بنصيحة الألم يجد رائحةالجنّة. (أحرجه البخاري فى 93. كتاب الأحكام: باب من استرعي رعية فلم ينصه).

2.      Terjemahan hadits
Artinya:
            Al-Hasan berkata, Ubaidillah bin Ziyad menjenguk Ma’qal bin Yasar Ra. Ketika ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka Ma’qal berkata kepada Ubaidillah bin Ziyad ” Aku akan menyampaikan kepadamu yang telah aku dengar dari Rasulullah Saw. Aku telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda, ” Tiada seorang hamba yang diberi amanat oleh Allah lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan pahalanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga).”[8]
3.      Penjelasan hadits
            Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT.untuk memimpin rakyat,yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT.sebagaimana telah dijelaskan di atas. Dengan demikian, meskipun seorang dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya,karena ketidakadilannya,misalkan, ia tidak akan mampu meloloskan diri dari Allah SWT. kelak di akhirat.
            Oleh karena itu, seorang pemipin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya, ia harus berusa memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat, sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah Asy-Syu’ara ayat 215,:”Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dari kaum mukminin.”
            Dalam sebuah hadist yang diterima dari  Siti Aisyah dan diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi saw. pernah berdoa,” Ya Allah, siapa yang menguasai suatu dari urusan umatku lalu mempersulit mereka,maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut kepada mereka, maka permudahlah baginya.Hal itu menunjukan bahwa Allah dan Rasul-Nya sangat peduli terhadap hambanya agar terjaga dari kezhaliman para pemmpin yang kejam  dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam di kategorikan sebagai sejahat-jahat pemerintah.
            Pemimpin yang zhalim yang tidak mau mengayomi dan melayani rakyatnya diancam tidak akan pernah mencium harumnya surga apalagi memasuknya. Pemilihan pemimpin harus di dasarkan betul-betul kualitas, integritas, loyalitas, dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih mereka karena didasarkan rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa ataupun keturunan karena jika mereka tidak dapat memimpin,rakyatlah ynag akan merasakan kerugiannya.
            Dalam pandangan Islam, seorang pemimimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT. Untuk memimpiun rakyat, yang diakhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT. Sebagaiman telah dijelaskan diatas. Dengan demikian walaupun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntunan rakyatnya, karena ketidak adilannya, misalkan ia tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntunan Allah SWT. Kelak diakhirat. Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya ia harus berusaha memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat. Sebagaimana firman Allah SWT :
ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÊÎÈ
”Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.”[9]
Menurut M.Quraish Shihab, dari ayat-ayat Al-Quran ditemukan sedikitnya dua pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut harus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimpin. Salah satu ayat yang menerangkan hal itu adalah ungkapan putri Nabi Syu'aib yang dibenarkan dan diabadikan dalam Al-Quran Surat Al-Qashash:26,yaitu:
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya".[10]
Oleh karena itu, Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.
Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, menteri, dpr, mpr, ma, bupati, walikota, gubernur, kepala desa, dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.

E.        Batas Ketaatan dan Ambisi
Hadits Tentang Batas Ketaatan kepada Pemimpin
1.      batas taat pemimpinMatan Hadits







2.      Terjemah Hadits
Artinya: hadits dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda:" Seorang muslim wajjib mendengar ,taat pada pemerintahnya dalam apa yang disetujui ataupun tidak setuju. kecuali jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak wajib mendengar dan tidak wajib taat."[11]

3.      Penjelasan Hadits
Hadis di atas menunjukkan kepada kita bahwa kepatuhan seorang rakyat terhadap pemimpin tidaklah mutlak. Ada batasan-batasan tertentu dimana seorang rakyat wajib ta’at dan patuh dan ada pula saat dimana rakyat tidak perlu patuh, bahkan boleh berontak atau melawan. Dalam hadis di atas, batasan-batasan kepatuhan terhadap pemimpin itu adalah selama pimimpin tidak memerintahkan rakyatnya untuk berbuat maksiat. Lantas pertanyaanya, apa yang dimaksud engan maksiat itu?
Secara bahasa maksiat adalah berarti durhaka atau tidak ta’at kepada allah. Namun secara istilahi, makna maksiat cukup beragam. Karenanya, adalah salah kaprah bila kita membatasi makna maksiat  hanya pada perkara-perkara semacam pornografi dan pornoaksi, seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan islam dalam melakukan pengrusakan tempat hiburan dengan dalih menghapus kema’siyatan.
Padahal kemaksiatan bukan hanya berada di tempat hiburan malam, akan tetapi di kantor-kantor pemerintah justru lebih banyak kema’siyatan dalam bentuknya yang samar namun cukup memprihatinkan. Lihatlah misalnya di kantor-kantor departemen, di ruang-ruang sidang para wakil rakyat, bahkan di masjid sekalipun, kita bisa menjumpai kemaksiatan. Namun yang dimaksud kemaksiatan di sini tentunya bukan penari telanjang atau orang yang sedang mabuk-mabukan, melainkan tindakan-tindakan yang mendurhakai allah yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita, wakil rakyat kita dan bahkan ulama-ulama kita. Bukankah korupsi, kolusi dan semua hal yang mengarah pada ketidak jujuran dalam memimpin negeri ini serta mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak pada  rakyat kecil juga termasuk maksiat. Bukan hanya itu, seorang ulama yang pandai berkhutbah namun dia menjadi jurkam dari pemimpin yang korup juga telah masuk dalam kategori berbuat maksiat.  Bahkan tindakan yang tidak melindungi anak-anak terlantar, janda-janda tua dan kaum miskin papa juga termasuk ma’siyat karena semua itu merupakan perintah allah, dan bagi siapa yang tidak melaksanakan perintah allah maka dia telah mendurhakai allah, dan orang yang durhaka berarti berbuat ma’siyat kepada allah.
Dengan demikian, kemaksiatan yang tidak perlu dipatuhi seorang rakyat terhadap pemimpinnya adalah kemaksiatan dengan pengertiannya yang cukup luas (mendurhakai allah) bukan saja kemaksiatan yang berarti sempit (seperti pornoaksi dan pornografi). Oleh sebab itu, dari hadis di atas bisa kita simpulkan bahwa apabila pemimpin kita sudah tidak lagi memegang prinsip-prinsip kejujuran serta tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat kecil, maka batasan kepatuhan terhadap pemimpin tersebut sudah gugur dengan sendirinya, karena pemimpin itu sendiri sudah termasuk kemaksiatan yang perlu untuk di hapuskan di muka bumi ini.
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga ketaatan kepada pemimipin disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”[12].
Sesuai dengan ayat yang tercantum diatas Rasulullah SAW bersabda:
Penjelasan hadits
 







Artinya: ” Abu Huraiarah Ra. Berkata, Rasulullah SAW bersabda, barang siapa yang taat kepadaku, berarti taat kepada Allah, dan barang siapa melanggar kepadaku berarti melanggar kepada Allah. Dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti taat kepadaku, dan barang siapa yang maksiat kepada pemimipin berati telah bermaksiat kepadaku. ”[13]
Hal itu menunjukan bahwa seorang pemimpin harus ditaati walaupun seorang budak yang hitam umpamnya. Segala perintah dan perkataanya harus ditaati oleh semua bawahannya.
Dalam Hadits yang lain Rasulullah saw telah memerintahkan seorang bekas budak untuk menggunakan kulit kambing yang telah mati, tetapi budak budak tersebut tidak menuruti perintah Rasulullah saw ia beranggapan bahwa kulit kambing haram sebagaimana diharamkan memakannya. Nabi kemudian menjelaskan bahwa mempergunakan kulit binatang yang mati tidak diharamkan.[14]
Dengan demikian pemimpin dan pengikutnya mempunyai hak dan kewajiban sendiri-sendiri, namun selalu berkaitan, pemimpin akan sukses pekerjannya dengan menampilkan sikap positif, artinya memperhatikan tuntutan dan harapan pengikutnya. Orang yang dapat mematuhi dengan komando pemimpinnya, tuntutan dan harapannnya. Semua itu dilakukan dengan musyawarah dan situasi/kondisi memungkinnya terwujudnya dua keinginan itu.
Umat Islam diwajibkan menaati para pemimpin mereka, baik terhadap aturan-aturan yang disetujuinya ataupun tidak, sejauh pemimipin tersebut tidak memerintah untuk berbuat maksiat. Kalau seorang pemimpin memerintah kemaksiatan, rakyat atau yang dipimpin tidak wajib mentaatinya, bahkan harus berani menegurnya dengan cara yang bijak.

Hadits Tentang Larangan  Ambisius memimpin
1.      Matan Hadits
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة ومحمد بن العلاء قالا حدثنا أبو أسامة عن بريد بن عبدالله عن أبي بردة عن أبي موسى قال: دخلت على النبي صلى الله عليه و سلم أنا ورجلان من بني عمي فقال أحد الرجلين يا رسول الله أمرنا على بعض ما ولا ك الله عز و جل وقال الآخر مثل ذلك فقال ( إنا والله لا نولي على هذا العمل أحدا سأله ولا أحدا حرص عليه )

2.      Terjemah Hadits
Artinya:
Hadits riwayat Abu Musa ra., ia berkata:  Aku menemui Nabi saw. bersama dua orang lelaki anak pamanku. Seorang dari keduanya berkata: “Wahai Rasulullah, angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah kekuasaanmu yang telah diberikan Allah azza wa jalla” Yang satu lagi juga berkata seperti itu. Lalu Rasulullah saw. bersabda: Demi Allah, kami tidak akan mengangkat seorang pun yang meminta sebagai pemimpin atas tugas ini dan tidak juga seorang yang berambisi memperolehnya. (Shahih Muslim No.3402)

3.      Penjelasan Hadits
Semua penulis dan literatur manager setuju bahwa kepemimpinan itu adalah suatu proses untuk mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang atau kelompok di dalam usahanya untuk mencapai tujuan pada suatu situasi tertentu. Pada setiap situasi apapun, seseorang bisa mempengaruhi orang lain atau kelompok lain. Dan situasi pengaruh mempengaruhi ini bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Dengan demikian bisa terjadi dimana-mana.[15]
Orang yang berada dalam usaha pengaruh seseorang atau tepatnya seseorang bawahan yang setiap hari bekerja sama dengan pimpinanya mereka akan memberikan reaksi dan penilaian terhadap pimpinanya sesuai dengan persepsi atas kenyataan yang di lihatnya bukan berdasarkan kemauan pimpinananya. Oleh karena itu, bisa saja seseorang pemimpin beranggapan bahwa dirinya sangat hangat, berkawan, demokrasi, adil, atau rapih tetapi orang-orang yang bekerja sama denganya melihat bahwa dia keras kepala, otokratis, mencari musuh, suka memihak, atau cerobos, maka persepsi orang-orang tersebut akan menyatakan seperti yang di lihatnya tersebut.
Maka sesuai dengan hadist di atas, bahwa jika seseorang sangat berambisi menjadi pemimpin maka dia tidak akan di angkat menjadi pemimpin karena akan mendatangkan kehancuran bagi yang di pimpinnya.

Adapun Hadits tentang wanita sebagai kepala Negara yang artinya:

“Dari abi Bakrah dari Nabi SAW. Ia bersabda’’ tidak akan jadi bahagia satu kaum yang menjadikan seorang perempuan sebagai ketua atau pemimpin mereka.”

Hadits tersebut di tujukan kepada masyarakat persia ketika itu, bukan terhadap semua masyarakat dan dalam semua urusan. Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ada suatu ketentuan agama pun yang dapat di pahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadits yang di jadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut.[16]
Salah satu ayat yang di kemukakan oleh para pemikir islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah surat At-Taubah: 71.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Secara umum ayat di atas di pahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerja sama antara laki-laki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan.
Kenyataan sejarah menunjukan sekian banyak wanita yang terlibat pada persoalan politik, Ummu Hani di benarkan oleh Nabi Muhammad saw. Ketika memberi jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik), Aisyah r.a. memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Thalib yang ketika itu menduduki jabatan sebagai kepala negara. Keterlibatan Aisyah r.a. bersana sekian banyak sahabat Nabi dan kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa beliau bersama para pengikutnya memperbolehkan keterlibatan perempuan dalam bidang politik sekalipun.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, kendati ada jabatan yang oleh sebagian ulama di anggap tidak boleh di duduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan sebagai kepala negara dan hakim, namun perkembangan masyarakat saat ini, ada sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan pendapat tersebut, khususnya persoalan kedudukan perempuan sebagai hakim. Dalam beberapa kitab hukum islam, Al-Mughni, ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain.
Atas dasar kaidah diatas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud berpendapat bahwa bukan hanya sekedar pertimbangan perkembangan masyarakat, kita dapat menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela maupun penuntut dalam berbagai bidang. Kedudukan serta hak-hak perempuan dan laki-laki hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada perbedaan hanyalah fungsi dan tugas utama yang di bebankan oleh kepada masing-masing.[17]







  
BAB III
KESIMPULAN

Kepemimpinan merupakan suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang, agar mau bekerja sama menuju kepada suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama (Sondang P. Siagian).
Seorang pemimpin yang berhasil (ideal) bisa ditentukan dengan beberapa faktor, diantaranya:[18]
1.      seorang pemimpin harus memperhatikan tanggung jawab seorang pemimpin, yang mencakup berbagai aspek yang menunjang kepemimpinan.
2.      Pemimpin harus berjiwa atau mempunyai sifat mengayomi terhadap yang dipimpinya yang tercermian dalam fungsi pemimpin sebagai pelayan masyarakat.
3.      Seorang pemimpin semestinya tidak terlalu ambisius untuk memperoleh jabatan, karena dikhawatirkan berdampak pada peraktek suap-menyuap. Sehingga peroses kepemimpinan dilakukan dengan baik berdasarkan koridor yang telah ditetapkan Islam, sehingga terciptanya suatu kepemimpinan yang ideal sesuai harapan bawahan, anggota sampai masyarakat bagi para pemangku negara.
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanat oleh Allah SWT.untuk memimpin rakyat,yang di akhirat kelak akan dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah SWT
Kedudukan seorang pemimpin sangat tinggi dalam agama Islam, sehingga ketaatan kepada pemimipin disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang terkandung dalam Q.S An-Nissa:59
Faktor seseorang pemimpin yang ambisius dia beranggapan bahwa dirinya sangat hangat, berkawan, demokrasi, adil, atau rapih tetapi orang-orang yang bekerja sama denganya melihat bahwa dia keras kepala, otokratis, mencari musuh, suka memihak, atau cerobos, maka persepsi orang-orang tersebut akan menyatakan seperti yang di lihatnya.
Oleh karena itu, dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi, akan tetapi sebagian ulama berpendapat ada jabatan yang tidak boleh di duduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan sebagai kepala negara dan hakim.





  

DAFTAR PUSTAKA
·         Adair, John. 1993. Kepemimpinan yang Efektif. Jakarta: Dahara Prize.
·         Al-Kahlany, Muhammad bin Ismail.1997. Subulu Al-Salam. Bandung: Dahlan 
·         Al-Mundziri, Hafizh. 1995. Terjemah Ath Targhiib wa Tarhiib. Jakarta: Pustaka Amani.
·         Asghary, Basri Iba. 1994. Solusi Al-Qur’an. Jakarta: PT Prineka Cipta.
·         Davis, Keith.1972. Human Behaviour at Work. New York: Book Company.
·         Moenir. 1988. Kepemimpinan kerja. Jakarta :Bina Aksara
·         Mustafa, Abid Bisri. 1993. Tarjamah Shaih Muslim Juz III. Semarang: CV Asy Syifa.
·         Qardhawy, Yusuf. 1998. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I. Jakarta: Gema Insani Presta.
·         Ranupandojo, Haidjrachman. 1990. Tanya Jawab Manajemen. Yogyakarta: AMP YKPN.
·         Shihab, Muhammad Quraisy. 1993. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
·         Sunarto,  Ahmad. 1993. Tarjamah Shahih Bukhari Jilid IX. Semarang: CV Asy Syifa.
·         Syafe’i, Rahmat. 2000. Al-Hadits. Bandung: CV Pustaka Setia.
·         Syaryashy, Ahmad. 1981. Yasalunaka fi Ad-Din wa Al-Hayat Juz VI. Beirut: Dar Al-Jail.
·         Toha, Miftah. 2001. kepemimpinan dalam menejemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Prasada.
·         Yusuf, Dudung Khalidi dkk. 2008. Syariah Leadership. Bandung : Tafakur (Kelompok Humaniora)





[1] Heidjrachman. R Tanya jawab Managemen. hal. 155
[2] Ibid.  hal 119
[3] Keith Davis, Human Behavior Work. New York. Book Company, 1972. Hlm 103-104
[4] A.S. Moenir. Kepemimpinan kerja. Jakarta. Bina aksara.1988.hlm 206
[5]H. Basri Iba Asghary. Solusi Al-Qur’an. Jakarta. Rineka Cipta. 1994.hlm 109



[6] Drs.Dudung Khalidi Yusuf, M.Pd. dan Drs. H. Dedeng Rasyidin, M.Ag. Syariah Leadership. Bandung. Tafakur (kelompok Humaniora) . 2008.hlm 74-75
[7] HR. Muslim
[8] Dikeluarkan oleh Imam Bukhari Muslim dalam kitab Hukum-hukum bab “Orang yang diberi amanat Pemimipin”.
[9] QS. Asy-Syu’ara : 215
[10] QS. Al-Qashash:26
[11] (H.R.Muslim) dikeluarkan oleh Imam Bukhari, dalam kitab Al-Ahkam bab ” Mendengarkan dan mentaati pemimpin selam tidak menyuruh untuk berbuat Maksiat”
[12] QS. An-Nisa : 59
[13] HR. Bukhari- Muslim
[14] Rahmat Syafe’i, 2000. Al-Hadits, Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum.Bandung. CV. Pustaka Setia.

[15] Miftah thoha, Kepemimpinan Dalam Menejemen. Jakarta PT Raja Gravindo Persada. 2001 hlm. 75
[16] Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an (Bandung, Mizan 1998). hlm. 315
[17] Quraish Shihab. Op. Cit., hal 317
[18]H. Basri Iba Asghary. Solusi Al-Qur’an. Jakarta. Rineka Cipta. 1994.hlm 109